Senin, 23 April 2012

Bintang dan Kerinduan

langit malam itu masih saja sendu.
bintang-bintang bersinar bertaburan, tetap saja terasa kelabu.
cahaya bulanpun tak mampu menyamarkan suasana yang teramat sangat pilu.
Dia masih duduk disana,
di loteng tak beratap. Agar dia lebih leluasa memandang langit sendu.
Dia menatap langit, memandang bulan.
Sesekali dia mencoba berbicara pada bintang.
Dengan bahasa yang tak mampu dimengerti oleh bulan dan langit.
Dia berbicara pada bintang.
Dengan bahasa kerinduan.
Sesekali ia menyapu airmata yang meleleh dipipinya.

Dibacanya kembali surat itu,
Dia mencoba mencerna setiap goresan tinta yang terukir diatas kertas putih itu.
Semakin dia mengerti, semakin dia tak kuasa menahan air matanya.

Air mata itu bukanlah air mata bahagia,
namun bukan pula air mata duka.

Air mata itu air mata rindu.

Rindu yang tak bisa terbendung lagi,
Rindu yang tak bisa diungkapkan oleh beribu kata indah,
Rindu yang tak bisa dilukiskan oleh lagu merdu.

Surat itu masih digenggamnya,
namun tak kembali ia baca.

Kini dia sedang mencoba mengendalikan perasaannya,
menata kerinduannya.

kepalanya kembali menengadah,
menatap langit dan berbicara kembali dengan bintang.
masih dengan bahasa kerinduan.
Rindu yang takan pernah ada habisnya,
Rindu yang takan pernah berujung.

Kini dia mencoba untuk tersenyum,
bukan karena terpaksa,
tapi karena Rindu.